22 jam setelah pergantian tahun aku duduk menatap ponselku. Melihat kenangan yang terjadi di tahun sebelumnya. Sangat banyak yang terjadi padaku. Termasuk pertemuan kita. Perkenalan kita sangat instan. Manisnya dirimu membuat aku percaya, bahwa kamu adalah pria paling tepat. Aku mulai membangun mimpi, harapan, dan keyakinan agar tidak menyia-nyiakan kebersamaan kita. Kamu humoris dan manis, dua hal itu memang tak cukup dijadikan alasan akan hadirnya cinta. Terlalu terburu-buru jika aku mengartikan ini semua adalah cinta, mungkinkah kita terjebak dalam ketertarikan sesaat? Aku tak tahu, Sayang. Aku tak mau tahu fakta-fakta itu. Jika benar ini hanya ketertarikan sesaat, mengapa aku begitu sedih ketika kamu memutuskan untuk pisah dan mengakhiri segalanya? kamu begitu manis dan mengejutkan. Letupan-letupan kecil perhatianmu membuat aku yang lama tak merasakan cinta seperti tersetrum oleh energi magis. Kamu mulai ungkapkan rasa, bercerita tentang rasa kagummu terhadapku. Diam-dia
Tidak ada yang menyenangkan berjalan dalam bayang-bayang, namun bayang-bayangmu memberiku banyak arti, dan selalu berhasil membuatku memutuskan untuk berjalan lagi. Aku begitu tahu, mencintaimu adalah sebuah kesalahan, tetapi berkali-kali kamu meyakinkan, bahwa bukan aku penyebab dari segala kehancuran. Lalu, kamu memintaku kembali dalam hidupmu, dengan label sahabat. Haruskah aku bilang, bahwa semua sikapmu membuat aku sedikit muak? Kita pernah di tahap lebih dari sahabat, lalu kaumemintaku meneruskan hubungan denganmu sebagai sahabat biasa. Aku menggelengkan kepala dan sibuk menahan air mata. Karena semua yang kulihat selalu membuatku ingat. Kamu membekas dalam otakku dan aku juga makin tak mengerti cara untuk mengusirmu dari hatiku. Kulewati jalan-jalan panjang yang kita lewati berdua. Dan, yang muncul di kepalaku, hanyalah wajahmu yang tersenyum, yang aku lihat di spion sepeda motormu. Betapa kebahagiaam bagiku begitu sederhana, memelukmu erat di atas sepeda motormu, dan mendenga